Oleh: Dieny Spencer
Beberapa waktu lalu saat aku bersama mama dan adeku yang paling kecil (masih TK) bersilaturrohim ke rumah tante Nur, teman mama di Mangli Jember. Ada dialog yang selalu aku inget diantara dua orang ibu2 itu. Semula tante Nur dengan keheranan nanya ke ma2 gini: "saya kagum banget sama sampean, sukses mendidik anak padahal sampeyan sibuk bekerja, puteri sampeyan yang masih TK saja sudah pinter berbahasa Inggris, bagaimana cara mengajarinya?". Begitu komentar keheranan tante Nur setelah mendengar adeku bicara sama mama dalam bahasa Inggris. Aku nebak-nebak apa jawaban mama atas pujian itu.
Mamaku memang hebat, beliau justru mengemukakan kekagumannya juga pada puteri tante Nur. Mama bilang gini:"mbak Nur ini ada-ada saja, justru puteri mbak Nur yang hebat-hebat, bisa menjawab dengan bahasa Indonesia jika diajak bicara pakai bahasa Indonesia, dan bisa menjawab dengan bahasa Jawa jika diajak bicara dalam bahasa Jawa, tentu mbak Nur sendiri yang mengajari ya?"
Tante Nur tersenyum mendengar komentar mama yang justru balik bertanya. Kedua ibu-ibu itu saling tersenyum, seakan sudah sama-sama paham. Justru aku sebagai pendengar terbaik saat itu belum paham-paham juga. Dalam batinku bertanya-tanya, kenapa ya anak itu bisa pandai dalam bahasa tertentu sekalipun tidak pernah dikursuskan?.
Pada umumnya anak-anak kecil di Jember sudah pandai dalam 3 bahasa: Bahasa Indonesia,Jawa , dan Madura. Padahal di Jember tidak pernah ada kursus ketiga bahasa itu. Sebaliknya juga, di Jember sangat banyak dibuka kursus bahasa Inggris, tapi penguasaan bahasa Inggrisnya justru payah, sangat lemah. bahkan ada yang bilang bahasa Inggris sebagai bahasa Londo, bahasa Munafik, takut lidah jadi mluntir dll dah banyak banget. Sepertinya tidak ada kaitan antara penguasaan bahasa tertentu dengan banyaknya tempat-tempat kursus.
Apabila kita kembali pada masalah adeku dan puteri tante Nur, tentunya bisa dengan mudah kita tahu, dimana dan dari siapa anak-anak balita itu belajar bahasa yang sekarang dikuasainya dan menggunakan metode apa.
Dalam kasus ini, kedua balita tidak ada yang dikursuskan bahasa tertentu, tidak menggunakan metode-metode tertentu yang canggih-canggih dalam mengajarinya. Keduanya sama seperti anak-anak lain pada umumnya, belajar berbicara dari orang tua dan keluarga mereka di rumah. Apa yang dibicarakan oleh orang-orang sekitarnya akan terekam dalam otaknya untuk kemudian ditirukan. Ketika orang-orang sekitarnya memberi contoh berbahasa Jawa yang baik maka si anak akan ikut menirukan berbahasa yang sama. Begitu pula dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Madura, Sunda dll semua bahasa dah.
Tentunya sangat tidak berdasar dan tidak rasional apabila dikatakan bahwa anak yang mampu berbahasa Inggris adalah anak yang memiliki kecerdasan bagus. Pernyataan itu sangat tidak berdasar. Buktinya setiap anak, siapapun anak itu, dan betapapun bodohnya tetap mampu berbahasa Jawa atau berbahasa Indonesia karena dia sejak kecil memang diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut.
Kalau kita perhatikan dalam setiap keluarga, dalam mengajari anak berbahasa tertentu yakni dengan langsung mengajaknya berbicara, si anak disikapi sudah paham dalam bahasa itu. Padahal semua tentu tahu, seorang anak bayi baru lahir tidak pernah mampu berbahasa Jawa sekalipun terlahir sebagai keturunan Jawa. Si anak bisa berbahasa Jawa karena ada pembelajaran rutin dari kedua orang tuanya dengan praktek langsung, dan adanya anggapan orang tua bahwa si anak memang sudah mampu dalam bahasa itu.
Percaya pada kemampuan anak dan mengajak praktek langsung, itulah inti pembelajaran terbaik untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa. Unsur kecerdasan bawaan si anak sangat kecil pengaruhnya. Terbukti semua anak yang hidup dalam keluarga berbahasa Jawa sangat paham bahasa Jawa itu, sekalipun (maaf) si anak terlahir tulalit, dengan tingkat kecerdasan sangat rendah.
Pada umumnya keluarga menganggap mudah bahasanya sendiri, sehingga tidak jarang orang mengajak orang lain berbicara dengan bahasanya sendiri, padahal orang yang diajak berbicara belum tentu mampu. Misalnya orang Jember, langsung saja berbicara dengan bahasa Jawa atau Madura padahal orang yang diajak bicara tidak paham kedua bahasa itu.
Sikap menganggap mudah bahasa sendiri itulah yang mendorong untuk langsung mengajak anak bayi berbicara dengan bahasa yang dikuasai si ibu/bapak. Akibatnya si anak, sejak awal sudah terbiasa mendengar dan menirukan bahasa ibu/bapak. Dari sinilah penguasaan bahasa pada balita itu dimulai.
Berangkat dari kenyataan di atas, siapapun akan mampu membuat anak menguasai bahasa apapun asal orang tuanya mau mengajak si anak berbicara menggunakan bahasa itu. Penguasaan bahasa pada balita adalah mengikuti contoh yang diberikan orang tua dan lingkungan sekitar di mana balita itu hidup.
Pengalamanku sendiri, jika aku hanya terpaku pada pembelajaran di kelas untuk bisa menguasai bahasa Jawa, tentu sampai sekarang aku tidak bisa berbahasa Jawa. Tapi karena "kepercayaan" teman-temanku, menganggap aku bisa berbahasa Jawa maka aku skarang sudah mulai lancar komunikasi dalam bahasa Jawa, sekalipun tentunya masih terbatas bahasa pergaulan sehari-hari.
Lebih-lebih adeku yang SD, sekarang sudah lancar berbahasa Jawa. Dalam keseharian bersama teman-temannya selalu berkomunikasi dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, padahal dalam keluarga tidak pernah dipelajari berbahasa Jawa. Praktek langsung berbahasa Jawa dan kepercayaan teman-temannya yang membuat adeku lancar berbahasa Jawa.
Alhasil, tidak ada bahasa yang sulit, asal mau praktek langsung menggunakan bahasa itu untuk berbicara, tentu mudah menguasainya. Kendala umum yang timbul adalah perasaan malu untuk praktek langsung. Malu untuk berbicara bahasa Inggris misalnya, akan kesulitan menguasai bahasa tersebut. Solusi terbaik adalah dengan membuang jauh-jauh perasaan malu, takut salah, takut digodain karena salah omong, dicibir, atau bahkan diolok-olok. Anggap saja semua godaan teman sebagai hiburan penyegar dalam proses kita belajar.
Wallahu a'lam....
Beberapa waktu lalu saat aku bersama mama dan adeku yang paling kecil (masih TK) bersilaturrohim ke rumah tante Nur, teman mama di Mangli Jember. Ada dialog yang selalu aku inget diantara dua orang ibu2 itu. Semula tante Nur dengan keheranan nanya ke ma2 gini: "saya kagum banget sama sampean, sukses mendidik anak padahal sampeyan sibuk bekerja, puteri sampeyan yang masih TK saja sudah pinter berbahasa Inggris, bagaimana cara mengajarinya?". Begitu komentar keheranan tante Nur setelah mendengar adeku bicara sama mama dalam bahasa Inggris. Aku nebak-nebak apa jawaban mama atas pujian itu.
Mamaku memang hebat, beliau justru mengemukakan kekagumannya juga pada puteri tante Nur. Mama bilang gini:"mbak Nur ini ada-ada saja, justru puteri mbak Nur yang hebat-hebat, bisa menjawab dengan bahasa Indonesia jika diajak bicara pakai bahasa Indonesia, dan bisa menjawab dengan bahasa Jawa jika diajak bicara dalam bahasa Jawa, tentu mbak Nur sendiri yang mengajari ya?"
Tante Nur tersenyum mendengar komentar mama yang justru balik bertanya. Kedua ibu-ibu itu saling tersenyum, seakan sudah sama-sama paham. Justru aku sebagai pendengar terbaik saat itu belum paham-paham juga. Dalam batinku bertanya-tanya, kenapa ya anak itu bisa pandai dalam bahasa tertentu sekalipun tidak pernah dikursuskan?.
Pada umumnya anak-anak kecil di Jember sudah pandai dalam 3 bahasa: Bahasa Indonesia,Jawa , dan Madura. Padahal di Jember tidak pernah ada kursus ketiga bahasa itu. Sebaliknya juga, di Jember sangat banyak dibuka kursus bahasa Inggris, tapi penguasaan bahasa Inggrisnya justru payah, sangat lemah. bahkan ada yang bilang bahasa Inggris sebagai bahasa Londo, bahasa Munafik, takut lidah jadi mluntir dll dah banyak banget. Sepertinya tidak ada kaitan antara penguasaan bahasa tertentu dengan banyaknya tempat-tempat kursus.
Apabila kita kembali pada masalah adeku dan puteri tante Nur, tentunya bisa dengan mudah kita tahu, dimana dan dari siapa anak-anak balita itu belajar bahasa yang sekarang dikuasainya dan menggunakan metode apa.
Dalam kasus ini, kedua balita tidak ada yang dikursuskan bahasa tertentu, tidak menggunakan metode-metode tertentu yang canggih-canggih dalam mengajarinya. Keduanya sama seperti anak-anak lain pada umumnya, belajar berbicara dari orang tua dan keluarga mereka di rumah. Apa yang dibicarakan oleh orang-orang sekitarnya akan terekam dalam otaknya untuk kemudian ditirukan. Ketika orang-orang sekitarnya memberi contoh berbahasa Jawa yang baik maka si anak akan ikut menirukan berbahasa yang sama. Begitu pula dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Madura, Sunda dll semua bahasa dah.
Tentunya sangat tidak berdasar dan tidak rasional apabila dikatakan bahwa anak yang mampu berbahasa Inggris adalah anak yang memiliki kecerdasan bagus. Pernyataan itu sangat tidak berdasar. Buktinya setiap anak, siapapun anak itu, dan betapapun bodohnya tetap mampu berbahasa Jawa atau berbahasa Indonesia karena dia sejak kecil memang diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut.
Kalau kita perhatikan dalam setiap keluarga, dalam mengajari anak berbahasa tertentu yakni dengan langsung mengajaknya berbicara, si anak disikapi sudah paham dalam bahasa itu. Padahal semua tentu tahu, seorang anak bayi baru lahir tidak pernah mampu berbahasa Jawa sekalipun terlahir sebagai keturunan Jawa. Si anak bisa berbahasa Jawa karena ada pembelajaran rutin dari kedua orang tuanya dengan praktek langsung, dan adanya anggapan orang tua bahwa si anak memang sudah mampu dalam bahasa itu.
Percaya pada kemampuan anak dan mengajak praktek langsung, itulah inti pembelajaran terbaik untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa. Unsur kecerdasan bawaan si anak sangat kecil pengaruhnya. Terbukti semua anak yang hidup dalam keluarga berbahasa Jawa sangat paham bahasa Jawa itu, sekalipun (maaf) si anak terlahir tulalit, dengan tingkat kecerdasan sangat rendah.
Pada umumnya keluarga menganggap mudah bahasanya sendiri, sehingga tidak jarang orang mengajak orang lain berbicara dengan bahasanya sendiri, padahal orang yang diajak berbicara belum tentu mampu. Misalnya orang Jember, langsung saja berbicara dengan bahasa Jawa atau Madura padahal orang yang diajak bicara tidak paham kedua bahasa itu.
Sikap menganggap mudah bahasa sendiri itulah yang mendorong untuk langsung mengajak anak bayi berbicara dengan bahasa yang dikuasai si ibu/bapak. Akibatnya si anak, sejak awal sudah terbiasa mendengar dan menirukan bahasa ibu/bapak. Dari sinilah penguasaan bahasa pada balita itu dimulai.
Berangkat dari kenyataan di atas, siapapun akan mampu membuat anak menguasai bahasa apapun asal orang tuanya mau mengajak si anak berbicara menggunakan bahasa itu. Penguasaan bahasa pada balita adalah mengikuti contoh yang diberikan orang tua dan lingkungan sekitar di mana balita itu hidup.
Pengalamanku sendiri, jika aku hanya terpaku pada pembelajaran di kelas untuk bisa menguasai bahasa Jawa, tentu sampai sekarang aku tidak bisa berbahasa Jawa. Tapi karena "kepercayaan" teman-temanku, menganggap aku bisa berbahasa Jawa maka aku skarang sudah mulai lancar komunikasi dalam bahasa Jawa, sekalipun tentunya masih terbatas bahasa pergaulan sehari-hari.
Lebih-lebih adeku yang SD, sekarang sudah lancar berbahasa Jawa. Dalam keseharian bersama teman-temannya selalu berkomunikasi dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, padahal dalam keluarga tidak pernah dipelajari berbahasa Jawa. Praktek langsung berbahasa Jawa dan kepercayaan teman-temannya yang membuat adeku lancar berbahasa Jawa.
Alhasil, tidak ada bahasa yang sulit, asal mau praktek langsung menggunakan bahasa itu untuk berbicara, tentu mudah menguasainya. Kendala umum yang timbul adalah perasaan malu untuk praktek langsung. Malu untuk berbicara bahasa Inggris misalnya, akan kesulitan menguasai bahasa tersebut. Solusi terbaik adalah dengan membuang jauh-jauh perasaan malu, takut salah, takut digodain karena salah omong, dicibir, atau bahkan diolok-olok. Anggap saja semua godaan teman sebagai hiburan penyegar dalam proses kita belajar.
Wallahu a'lam....
No comments:
Post a Comment