Thursday, August 4, 2011

Pesantren yang Kukenal

by Dieny Spencer on Wednesday, August 3, 2011 at 9:09pm

Masa perkenalan santri baru: acara lucu-lucuan
Antara ngeri, khawatir dan berbagai rasa was-was berkecamuk dalam dada, waktu orang tua ambil keputusan akan mondokkan saya di pesantren, apalagi di Madura. Di benak saya, orang Madura itu ganas dan suka ngebunuh orang.
Dengan tangis tertahan, kekecewaan mendalam pada keputusan orang tua bercampur dengan  rasa ingin tahu tentang pendidikan pesantren bergumul dalam batin saya.



Di pesantren, yang saya kenal pertama adalah serba keserhanaan. Gedung sederhana dan semua serba sederhana. Sangat jauh dari kemewahan. Para santri tinggal di dalam bilik-bilik kecil yang terisi banyak penghuni. Tempat tidur beralas tikar dengan sebuah bantal, tanpa guling, tanpa dipan, tanpa kasur. Mirip tempat penampungan.

Malam pertama tidur bergumul dengan banyak santri, saya jalani dengan cukup nyenyak, mungkin karena sebelumnya telah melakukan perjalanan panjang. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa saya tidak bisa senyenyak tidur di rumah. Tepat jam 02.00 dini hari saya terbangun dan tidak bisa tidur lagi sampai subuh. Sudah begitu badan rasanya remuk redam, sakit semua. Bayangkan saja.... semalaman tidur diatas lantai hanya beralas tikar sekeras itu.
Perasaan tidak kerasan mulai menjalari seluruh pikiran saya. Terbayang kengerian, jika saya harus bertahun-tahun hidup begini, saya bisa kurus tanpa harus diet.

Sholat berjamaah adalah suatu keharusan bagi santri. begitu juga waktu subuh itu. Terasa ada kesejukan mengaliri jalan darah, ketika saya mengikuti sholat dan dzikir berjamaah. Setelah dzikir dilanjutkan dengan baca Al Qur'an. Sedikit mengubur siksaan tidur "ditempat penampungan" semalam.

Selepas sholat subuh, biasanya dilanjutkan dengan ngaji kitab, tapi saat itu beda, pengajian kitab dikosongkan, entah karena apa. Mungkin untuk tidak menimbulkan kekagetan bagi santri baru, yang semula dirumahnya makan tidur mulu, agar tidak kaget bila dipondok diberikan kegiatan yang terlalu padat.

Tidak ada yang istimewa dari semua aktivitas santri, semua berjalan seperti biasa kegiatan di rumah, pagi-pagi bersiap-siap berangkat sekolah. Sekitar jam 12.35 siang sekolah baru usai. Sore hari kembali sekolah lagi yang mereka sebut dengan istilah MD (madrasah Diniyah). Di Madrasah Diniyah ini semua pelajarannya serba baru bagi saya. bagaimana tidak, semua leteraturnya bertulisan arab, berbahasa arab, serba kitab.

Beruntung saya dimasukkan kelas 5 MD, jadi kitabnya masih ada harokatnya. Tapi saya tidak lama di kelas ini, baru 3 hari saya sudah dipindah ke kelas 6. Hebat ya? dalam tiga hari bisa naik kelas. Ini benar-benar unik bagi saya, bagaimana mungkin menaikkan seorang siswa hanya dalam waktu sesingkat itu. padahal saya yakin, ustadznya juga belum tahu benar seberapa tingkat kemampuan saya.
Tapi tetap saya simpan rapat-rapat keheranan saya, saya jalani saja pelajaran di kelas 6 MD. Pelajaran di sini sudah membahas tentang nahwu secara mendalam. Jujur dech... di sini saya jadi bodo kuadrat. Kalau pelajaran fiqih dan lain-lain saya masih bisa mengikuti, tapi nahwu dan sorrof benar-benar bikin saya pusing.

Malu bertanya sesat di jalan, pepatah lama itu coba saya gunakan. Pada suatu kesempatan saya bertanya pada ustadzah, "nahwu dan sorrof itu sebenarnya intinya tentang apa?". Dengan lugas ustadzah menjawab bahwa itu adalah ilmu tata bahasa arab.

Di sini mental pemberontak saya mulai bangkit. Selama ini saya memang merasa aneh apabila belajar sebuah bahasa dengan mendalami tata bahasanya terlebih dahulu. Jelas akan kesulitan. Inti dari bahasa (apapun) adalah pada penguasaan kosa kata. tata bahasa hanya mengikuti di belakangnya. Apabila kosa kata sudah dikuasai maka tata bahasa akan mudah dikuasai pula.
Baru beberapa hari di pondok sudah muncul satu koreksi saya, karena sebelumnya saya sudah membahas masalah ini, lihat pada tulisan saya yg lain: "kemampuan Berbahasa pada Balita".

 Ada yang luar biasa di pesantren ini, biaya makan sangat murah, fantastis malah. Bayangkan sj, harga seporsi makanan hanya 2.000 rupiah. kebayang ga? padahal harga beras sekarang dah melambung tinggi. Apabila bayar bulanan, tarif makan 3 kali sehari hanya Rp. 200.000. Lauk pauk sederhana, tapi cukup untuk memenuhi standar gizi minimum, yang pasti selalu pakai ikan. Makanan super murah ini dikelola oleh koperasi pesantren.

Suatu ketika, saya cerita sama temen-temen sekamar bahwa kalau saya pergi keluar kota bersama keluarga, sekali makan harganya bisa di atas Rp. 200 ribu. Temen-temen saya pada keheranan semua, "makan pakai campuran emas, kali ya? mahal banget",  itu komentar mereka.

Di pihak lain, mama selalu bertanya lewat telepon pengurus pondok, "menu makanannya cukup bergizi tidak?". saya yakin dech, pasti mama juga khawatir tentang menu makanan. Harga semurah itu emang sangat mengkhawatirkan, jangan-jangan makanannya tidak layak dimakan.
Sudah berkali-kali saya jawab bahwa menunya cukup enak walau tidak mewah, tetap saja mama telepon-telepon terus. Sampai seperti telepon-teleponan sama pacar dech. Yg ditanya selalu itu ke itu terus: bagaimana keadaan kamu? Kerasan (betah) tinggal di pondok? tadi menunya apa? Sampai hafal luar kepala semua materi pertanyaan mama.


Bersambung... 

No comments:

Post a Comment