Thursday, August 4, 2011

Mendidik Anak: Membiarkan Bebas Membaca atau Membatasi Bacaan?

Oleh Dieny Spencer
 
"Dieny sudah matang sebelum waktunya, dia sering membaca buku Perguruan Tinggi. Itu sangat berbahaya untuk anak seusia dia". Begitu nenek moyangku (oma) ceramah di depan mama, waktu mama datang ke Jakarta untuk jemput aku. Mama hanya diam saja mendengar ceramah tanpa judul itu. "Seharusnya kamu bisa memberikan bacaan yang sesuai dengan usianya" begitu omaku melanjutkan ceramah omelannya.
Tidak ada tanggapan apa-apa dari mama. Sebenarnya aku tidak puas dengan sikap mama. Spontan saja aku yang jawab, "lihat-lihat jaman dong, masa jaman sekarang mau diperlakukan seperti anak jaman oma dulu, itu ya tidak maju-maju namanya", itu komentarku pendek.

Omaku makin berang mendengar jawabanku, kembali mama yang jadi pelampiasannya. Ceramah panjang lebar tentang pendidikan anak. Sampai akhirnya oma cerita ke mama: "tiap hari Dieny di sini selalu diskusi dengan mahasiswa, itu sudah bukan tempatnya" dan seterusnya deh panjang banget.
Pikiranku berputar-putar penuh tanda tanya, apakah pendidikan itu harus ada batasan? Apakah pelajaran sekolah (yang kalau jujur aku akui sudah bosan) harus tetap selalu aku geluti? padahal tidak ada yang menarik lagi di sana, kecuali pelajaran fisika dan matematika.
Pemikiran semacam omaku ini jelas menjadi penghambat besar bagi kemajuan anak. Taruhlah pada pelajaran bahasa Inggris, untuk UN tahun ini saja aku bisa mengerjakan semua soal milik anak SMA. Aku yakin pekerjaanku UN bahasa Inggrisku sendiri beberapa waktu lalu hanya salah dua, itupun karena aku sengaja menjawab dengan salah.
Apabila aku harus mengikuti pemikiran oma berarti aku harus belajar pelajaran sekolah terus, padahal buku pelajaran satu semester bisa kita pahami dalam satu malam (maaf bukan sok pinter), banyak temanku yang mampu melakukan itu. Seluruh materi pelajaran kalau benar-benar dibaca dan dipahami bisa kita pelajari dengan lebih singkat.
Pekerjaan yang bisa dipelajari dalam satu malam harus kita ulang-ulang terus selama satu semester. bayangin saja, betapa membosankan dan sia-sianya pekerjaan itu.

Patokan buku paket di sekolah itu kan hanya patokan minimum bagi siwa yang malas baca, kalau kita suka baca? tentunya tidak dilarang apabila kita menambah dengan bacaan lain yang lebih berbobot dan lebih ilmiah.
Sebagian temanku, dalam melampiaskan kebosanannya dengan pelajaran sekolah (yang sering jalan di tempat), melampiaskan kebosanannya dengan baca-baca novel, cerpen dan bacan-bacaan ringan lainnya.
Kiranya bukan salah besar juga apabila kita merasa bosan dengan novel, terutama jika kita sadar bahwa cerita itu fiksi, hanya boongan. Bacaan bukanlah sesuatu yang berbahaya, apapun isi bacaan itu. Karena kita sama-sama bisa menimbang sendiri isi bacaan itu sesuai dengan hati kita apa tidak. Kalau mama menyebut "harus ada filter" dalam diri kita sebelum menelan mentah-mentah isi bacaan itu.

Pemberian batasan dalam materi bacaan dengan alasan "usia" atau kemampuan tentunya tidak bisa diterima, karena orang yang sudah nyata-nyata tidak mampu dalam sebuah materi pelajaran tentu tidak akan tertarik lagi dengan mata pelajaran tersebut. Jadi pembatasan itu akan terseleksi dengan sendirinya menurut tingkat kemampuan anak. Walaupun sudah orang dewasa, bisa saja tidak mampu memahami sebuah bacaan yang merupakan bacaan menarik bagi seorang anak kecil yang memang hobi membaca,

Lebih-lebih jika kita melihat dalam sejarah Islam, wahyu pertama yang diterima nabi adalah perintah untuk membaca. Jelas karena membaca itu sangat besar manfaatnya. Permasalahan sebenarnya adalah bagaimana kita meningkatkan minat baca anak-anak, membaca apa saja. Karena secara nyata banyak anak yang sangat malas membaca, lebih sengan mendengarkan keterangan guru. Sehingga di sini peran guru sebagai penuntun dalam belajar menjadi sangat mutlak.

Tanpa bermaksud meremehkan peran guru, sebenarnya ilmu yang terserap oleh anak dari guru hanya berkisar 30% dari total informasi yang masuk pada diri anak. Berarti 70% informasi yang diterima anak adalah dari luar guru. Di sinilah peran penting membaca menjadi sangat vital untuk peningkatan kemampuan intelektual anak.

Bisa kita bayangkan apabila 70% informasi yang diterima anak hanya berupa "pengetahuan" yang tidak ilmiah bukan ilmu pengetahuan yang ilmiah, tentunya peningkatan intelektual anak akan berkembang secara kacau. Informasi yang diterima sangat banyak akan tetapi bukan ilmu pengetahuan yang ilmiah, hanya sedikit yang berasal dari ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam hal ini gue berpijak pada pembagian ilmu dan pengetahuan menurut filsafat ilmu yang pernah gue baca (ceileeeee.... seperti orang pinter aja).

Ilmu pengetahuan ilmiah hanya bisa didapat dari membaca dan penelitian (hasil jiplak tapi lupa sumbernya). Padahal setiap saat informasi baru selalu diperoleh setiap anak, entah dari mana saja, dari berbagai sumber. Sehingga tidak jarang seorang anak berfikiran cerdas akan tetapi cara berfikirnya tidak ilmiah, karena informasi yang masuk lebih banyak didapat dari hasil mendengar, bukan dari membaca.

Ala bisa karena biasa, begitu pepatah mengatakan, kira-kira maksudnya bahwa kemampuan setiap orang adalah menurut kebiasaannya. Dalam kehidupan sehar-hari, bisa kita lihat pada seorang tukang kayu yang setiap harinya hanya mengerjakan meuble, lama kelamaan dia bisa mengerjakan pekerjaannya dengan bagus dan sangat cepat selesai. Tentunya jauh beda dengan orang lain yang tidak pernah mengerjakan kayu lalu disuruh membuat sebuah kursi misalnya, waoouu... sampai berhari-hari tidak akan mampu menyelesaikan sebuah kursi.

Begitu juga dengan membaca, bagi anak yang jarang membaca tentunya akan kesulitan memahami buku-buku bacaan yang sangat ringan sekalipun. Kondisinya akan berbeda bagi anak yang sudah punya hobi membaca. Semakin lama akan semakin ketagihan dengan bacaan, semakin ilmiah dan berbobot sebuah buku bacaan maka semakin menariklah bacaan itu.

Apabila kita kembali pada "ceramah" oma, maka akan terlihat bahwa tidaklah bijaksana apabila diadakan pembatasan-pembatasan dalam membaca. Justru sebaiknya dilakukan penanaman motivasi bagi anak agar gemar membaca. Terutama dengan pemberian contoh dari orang tua. Bacaan yang menarik bagi setiap anak tentunya berbeda-beda, orang tua hanya mendorong untuk membaca apa saja yang sesuai kegemaran si anak.

Seharusnya menjadi sesuatu yang perlu disyukuri apabila anak memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri untuk gemar membaca. Semakin ilmiah dan berbobot bacaan yang digemari anak maka semakin besarlah dampak positif pada diri anak tersebut.


No comments:

Post a Comment