Thursday, May 26, 2011

Bung Hatta, Negarawan Indonesia yang tidak Korupsi

Tabungannya Tidak Cukup untuk Beli Sepatu Bally

Semua Orang Indonesia, bahkan seluruh dunia sudah kenal sosok DR.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta atau lebih dikenal Bung Hatta, beliau adalah proklamator RI, Wakil Presiden I RI,  Bapak Koperasi Indonesia, negarawan, pahlawan, diplomat, dan ekonom Indonesia. Selain gelar-gelar diatas yang biasa kita baca, ada hal lain yang tidak kalah penting yang membuat mengagumkan seraya membanggakan atas sosok Bung Hatta lainnya yakni santun, jujur, hemat, serta uncorruptable.

Bung Hatta, Sikap Negarawan yang Langka
Bila India memiliki Mahatma Gandhi sebagai bapak negarawan yang sederhana, santun, bersahaja bagi rakyatnya, maka Indonesia memiliki Bung Hatta. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Bung Hatta sangat menghormati dan terus bersahabat dengan Bung Karno, meski di tahun 1950-an mereka tidak dapat bekerja sama lagi secara politik. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Banyak  kisah tentang dia yang menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin dan negarawan yang teramat bersahaja. Dan, itu pula yang disampaikan Rachmawati Soekarnoputri dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, 9 Agustus 2002, Mengenang 100 Tahun Bung Hatta. Dalam tulisan tersebut, putri mendiang Bung Karno tersebut mengatakan, suri teladan yang perlu diteladani dari Bung Hatta adalah sifat dan perilakunya yang fair dan jujur. “Jujur di sini, tidak hanya terbatas pada tidak melakukan praktik KKN selama berkuasa atau menjabat. Namun, lebih dari itu, Bung Hatta jujur terhadap hati nuraninya,” kata Rachmawati.
Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.
Kejujuran yang diperlihatkan Bung Hatta dalam hal ini justru menunjukkan sikap ksatria seorang negarawan yang patut dihargai dan dicontoh. Kendati demikian, hubungan pertemanan antara Bung Hatta dan Bung Karno tidak lalu berubah menjadi permusuhan, malahan Bung Hatta melakukan kerja sama yang kritis terhadap Bung Karno (critical cooperation). Bahkan, adakalanya Bung Hatta memberikan masukan langsung datang ke Istana selain menulis surat atau menelepon. Dan, Bung Karno pun tetap menganggap Bung Hatta sebagai teman bukan musuh yang harus “dilumpuhkan”.
Rachmawati juga mengungkapkan bahwa sikap fair dan perilaku terasa ketika Bung Karno sakit setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965. Ketika Bung Karno mulai jatuh sakit, Bung Hatta tetap memberikan perhatian kepada Bung Karno. Bahkan, pada saat sakit yang diderita Bung Karno semakin parah pada tahun 1969 dan terpaksa harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Bung Hatta bersikeras menjenguk Bung Karno di mana tak satu pun pejabat atau tokoh lain mau menjenguk Bung Karno.

Wakil Presiden Bung Hatta Harus Menabung Membeli Sepatu “Bally”, Tapi…..
Salah satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah kisah  tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
Setelah itu, dia pun berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. 

Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan,  ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.

Andai saja Bung Hatta mau memanfaatkan posisinya saat itu, sebenarnya sangatlah mudah baginya untuk memperoleh sepatu Bally, misalnya dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalannya. Barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi 
kemerdekaan negeri ini, Bung Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain atau negara.Sungguh mengagumkan. Apa yang dilakukan Bung Hatta adalah karena dia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara. Dalam konteks itu pula, maka Bung Hatta pun tidak berusaha bekerja di berbagai perusahaan meski sebenarnya sangat memungkinkan. Dalam pandangannya, jika dia bekerja pada perusahaan, maka citra seorang mantan wakil presiden akan runtuh. Juga, jika dia menjadi seorang konsultan, maka sebenarnya dirinya sedang terjebak ke dalam bias persaingan usaha yang sarat dengan kepentingan.
Pemikiran yang luar biasa itulah yang dijalankan oleh Bung Hatta. Bung Hatta lebih memilih hidup sederhana demi menjaga nama baik bangsa Indonesia. Bung Hatta telah mengorbankan dirinya bagi negeri ini. Bung Hatta begitu hati-hati menggunakan kekuasaan.

Ini adalah Paradoks dengan Kementerian SBY :  Baru 1 Hari Dilantik, Kementerian SBY Minta Kenaikan Gaji
Baru sehari bahkan beberapa jam para menteri dilantik untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, pejabat Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengajukan usulan kenaikan gaji bagi para pejabat negara. Hal itu disampaikan Deputi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Bidang Sumber Daya Manusia Ramli Effendi Naibaho sebelum serah terima jabatan Menneg PAN di Jakarta, Kamis (22/10) (kompas, 23 Oktober 2009). Serah terima jabatan ini tidak berubah secara signifikan, karena saat ini maupun sebelumnya, pos menteri PAN diduduki oleh kader Demokrat.

Kenaikan gaji ini hanya dikhususkan bagi para penguasa (pejabat negara), sedangkan para pegawai honorer dan pegawai negeri sipil (PNS) tidak termasuk dalam agenda kenaikan gaji. Berdasarkan Pasal 11 UU 43 Tahun 1999 mengenai Pokok-pokok Kepegawaian, yang termasuk dalam kategori pejabat negara adalah :

    Presiden dan Wakil Presiden;
    Pimpinan + Anggota MPR
    Pimpinan + Anggota DPR
    Pimpinan + Anggota MA + Pimpinan Badan Peradilan
    Pimpinan + Anggota BPK
    Para menteri dan Pejabat setingkat menteri
    Para Duta Besar RI
    Gubernur dan Wakil Gubernur
    Bupati/ Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota;

Oh Indonesia tercinta, kami memimpikan Pemimpin type Bung Hatta yang tidak korup  ......

No comments:

Post a Comment