oleh Dieny Spencer
Rasanya aku mau nangis tiap kali ada temen minta nomor hp.
Antara malu, sedih dan kecewa campur aduk dalam diriku.
Tidak pernah bisa aku mengerti mengapa aku tidak boleh pegang hp, padahal aku bukan anak kecil lagi, aku sudah besar. teman-temanku sudah punya hp semua. Mereka bisa saling telephon, curhat-curhatan and saling bagi cerita. Tapi aku bagai katak dalam tempurung, menoleh ke kanan ke kiri pandangan dibatasi oleh dinding batok kelapa
Apabila aku mau telephon temen-temenku slalu aku harus pinjam telepon ortu, itupun waktunya terbatas dan harus beritahu temen-temenku agar jangan telephon balik.
Sedihku memuncak pada hari minggu pagi lalu, aku and temen-temen janjian mau jalan-jalan naik sepeda gayuh. Begitu tiba hari minggu itu, temen-temenku saling telephon. Mereka bisa kompak berangkat bersama-sama menuju rumahku.
Sekalipun mereka berangkat dari rumah masing-masing tiba dirumahku pada waktu hampir bersamaan. Sedangkan aku sendiri waktu itu lupa dan tidak ada temenku yg ngingetin, maklum tidak punya hp.
Aku benar-benar malu pada temen-temenku, mereka kompak datang ke rumahku, sedangkan aku sendiri justru ngeloyor pergi.
Beberapa hari sebelumnya aku dan temen-temen sepakat berangkat bersepeda santai, dimulai dari rumahku.
Mereka sangat memahami bahwa aku tidak punya hape, jadi mereka dengan rela hati mau mengalah, berkorban sedikit tenaga dengan mendatangi rumahku.
Hari itu, pagi-pagi benar aku berangkat jalan-jalan sama papa. Sedikitpun tidak ingat bahwa aku sudah sepakat janjian sama temen-temenku untuk bersepeda santai.
Aku bayangkan, betapa kecewa temen-temenku yang datang pagi-pagi ke rumahku, menemui aku, sedangkan aku justru menghilang, tidak bisa ditemui di rumah. Padahal sebelumnya aku yang siap menanggung konsumsi selama kita jalan-jalan. "Tidak usah bawa uang, biar aku yang traktir semua",bgitu pesanku pada temen-temen sehari sebelumnya. Tidak mampu aku bayangkan, jika temen-temen mengikuti saranku, tidak bawa uang sepeserpun karena aku sanggup traktir mereka, tentu mereka akan sangat kesulitan, tidak bisa beli air apabila mereka haus. Semua karena janjiku pada mereka.
Beruntung temen-temenku baik-baik semua, mereka tidak marah, aku hanya melihat ada kecewa mendalam pada tatap mata mereka, tapi mereka masih mau berteman denganku.
Aku tahu, ortuku tidak kesulitan uang kalau mau belikan aku hape yg baru sekalipun, apalagi aku tidak menuntut harus belikan hape bagus, yang penting bisa dipakai telephon dan SMS, itu saja cukup. Ada temenku yang beritahu aku bahwa ada hape temen yang mau dijual, hape kuno yang sangat murah. Ditawarkan Rp. 150.000 saja. Waktu itu aku punya uang sejumlah itu, simpanan dari kelebihan uang jajan bulananku.
Aku sempat beritahu mama akan beli hape dengan uangku sendiri, tapi jawaban mama tetap lagu wajib seperti sebelumnya: "belum waktunya". Sejak itu aku putus asa untuk bisa memiliki hape sendiri.
Kecewa karena kebutuhanku tidak terpenuhi aku lampiaskan pada internet. Tiap malam aku ngenet sampai ber-jam-jam, sering semalam suntuk komputer tidak aku matikan dan internet tetap online
Mengherankan memang, temen-temenku umumnya boleh punya hape tapi dilarang beli modem dan berlangganan 'internet' unlimited, 'Internet sangat berbahaya', begitu kata temenku ketika aku tanya mereka mengapa dilarang ortunya.
Aku jauh berbeda, aku memiliki kebebasan untuk mengakses situs-situs apapun, situs paling porno dan paling jorok bisa aku buka setiap saat bila aku mau. Tapi aku tidak suka dengan situs-situs macam itu, bukan karena sok suci tapi karena bagiku situs-situs macam itu tidak menarik, sangat menjijikkan, tidak normal seperti orang-orang umumnya. Aku lebih tertarik curhat-curhatan lewat telephon ma temen-temenku. Tapi hanya bisa aku lakukan dalam mimpi, dalam khayal, betapa nikmat seandainya punya hape sendiri.
Tak jarang temenku kasih saran agar aku beli kartu perdana saja, kalau sewaktu-waktu mau telephon, aku ditawari untuk pake hape temenku itu. Tidak aku lakukan, karena aku tidak mau khianat ma ortu aku. Skalipun tidak diketahui tapi Allah maha tahu kalau aku berkhianat.
Sakit dan kecewaku dalam batin tetap aku tahan, aku berusaha tetap mematuhi kemauan ortu, walalupu aku memang tidak setuju dengan larangan kolot kuno dan tidak beralasan itu. Aku pikir tidak tepat ketika ortu aku bilang: 'ma2 dulu seusia kamu tidak pernah pegang hape, tidak bermasalah'.
Jaman ma2 dulu memang belum ada hape, pantas saja tidak pegang hape, tapi sekarang sudah jaman kemajuan teknologi, tukang pemulung sampah saja banyak yang pegang hape.
Pernah aku ngebantah ma ma2, begini:
'jaman oma dulu kalau berangkat kerja tidak pakai mobil juga tidak masalah, kenapa ma2 brangkat kerja bawa mobil?'
'Jaman oma dulu kalau bekerja cukup dirumah saja jadi ibu rumah tangga yang memasak di dapur dan jagain anak-anak, kenapa ma2 kerja di luar? urusan di dapur diserahin orang lain'
Aku kira ma2 akan marah karena bantahanku, ternyata ma2 tidak marah, hanya berucap pendek begini: 'kamu pikir baik-baik jawabannya'
Aku tidak menuntut banyak ma ortu, aku hanya ingin hidup wajar seperti temen-temenku, ingin bergaul tanpa batasan yang tidak masuk akal. 'ma2 punya alasan ngelarang kamu pegang hape sendiri' itu kata ma2 beberapa waktu lalu. Tapi kemudian ma2 diam saja ketika aku tanya apa yang menjadi alasan ma2.
akhirnya aku sebagai anak memang harus selalu mengalah bila menghadapi ortu. Andai ma2 jadi raja, tentu ma2 menjadi raja yang otokrasi seperti kata guru sejarahku tentang raja-raja jaman dulu.
Kecewa, sedih marah dan malu yang selama ini bergumul dalam diriku hanya bisa aku tumpahkan dalam tulisan ini. Curhatku hanya lewat tulisan ini.
Ya Allah, padaMu hamba berserah diri
Antara malu, sedih dan kecewa campur aduk dalam diriku.
Tukang pemulung saja punya telepon genggam |
Apabila aku mau telephon temen-temenku slalu aku harus pinjam telepon ortu, itupun waktunya terbatas dan harus beritahu temen-temenku agar jangan telephon balik.
Sedihku memuncak pada hari minggu pagi lalu, aku and temen-temen janjian mau jalan-jalan naik sepeda gayuh. Begitu tiba hari minggu itu, temen-temenku saling telephon. Mereka bisa kompak berangkat bersama-sama menuju rumahku.
Sekalipun mereka berangkat dari rumah masing-masing tiba dirumahku pada waktu hampir bersamaan. Sedangkan aku sendiri waktu itu lupa dan tidak ada temenku yg ngingetin, maklum tidak punya hp.
Aku benar-benar malu pada temen-temenku, mereka kompak datang ke rumahku, sedangkan aku sendiri justru ngeloyor pergi.
Beberapa hari sebelumnya aku dan temen-temen sepakat berangkat bersepeda santai, dimulai dari rumahku.
Mereka sangat memahami bahwa aku tidak punya hape, jadi mereka dengan rela hati mau mengalah, berkorban sedikit tenaga dengan mendatangi rumahku.
Hari itu, pagi-pagi benar aku berangkat jalan-jalan sama papa. Sedikitpun tidak ingat bahwa aku sudah sepakat janjian sama temen-temenku untuk bersepeda santai.
Aku bayangkan, betapa kecewa temen-temenku yang datang pagi-pagi ke rumahku, menemui aku, sedangkan aku justru menghilang, tidak bisa ditemui di rumah. Padahal sebelumnya aku yang siap menanggung konsumsi selama kita jalan-jalan. "Tidak usah bawa uang, biar aku yang traktir semua",bgitu pesanku pada temen-temen sehari sebelumnya. Tidak mampu aku bayangkan, jika temen-temen mengikuti saranku, tidak bawa uang sepeserpun karena aku sanggup traktir mereka, tentu mereka akan sangat kesulitan, tidak bisa beli air apabila mereka haus. Semua karena janjiku pada mereka.
Beruntung temen-temenku baik-baik semua, mereka tidak marah, aku hanya melihat ada kecewa mendalam pada tatap mata mereka, tapi mereka masih mau berteman denganku.
Aku tahu, ortuku tidak kesulitan uang kalau mau belikan aku hape yg baru sekalipun, apalagi aku tidak menuntut harus belikan hape bagus, yang penting bisa dipakai telephon dan SMS, itu saja cukup. Ada temenku yang beritahu aku bahwa ada hape temen yang mau dijual, hape kuno yang sangat murah. Ditawarkan Rp. 150.000 saja. Waktu itu aku punya uang sejumlah itu, simpanan dari kelebihan uang jajan bulananku.
Aku sempat beritahu mama akan beli hape dengan uangku sendiri, tapi jawaban mama tetap lagu wajib seperti sebelumnya: "belum waktunya". Sejak itu aku putus asa untuk bisa memiliki hape sendiri.
Kecewa karena kebutuhanku tidak terpenuhi aku lampiaskan pada internet. Tiap malam aku ngenet sampai ber-jam-jam, sering semalam suntuk komputer tidak aku matikan dan internet tetap online
Mengherankan memang, temen-temenku umumnya boleh punya hape tapi dilarang beli modem dan berlangganan 'internet' unlimited, 'Internet sangat berbahaya', begitu kata temenku ketika aku tanya mereka mengapa dilarang ortunya.
Aku jauh berbeda, aku memiliki kebebasan untuk mengakses situs-situs apapun, situs paling porno dan paling jorok bisa aku buka setiap saat bila aku mau. Tapi aku tidak suka dengan situs-situs macam itu, bukan karena sok suci tapi karena bagiku situs-situs macam itu tidak menarik, sangat menjijikkan, tidak normal seperti orang-orang umumnya. Aku lebih tertarik curhat-curhatan lewat telephon ma temen-temenku. Tapi hanya bisa aku lakukan dalam mimpi, dalam khayal, betapa nikmat seandainya punya hape sendiri.
Tak jarang temenku kasih saran agar aku beli kartu perdana saja, kalau sewaktu-waktu mau telephon, aku ditawari untuk pake hape temenku itu. Tidak aku lakukan, karena aku tidak mau khianat ma ortu aku. Skalipun tidak diketahui tapi Allah maha tahu kalau aku berkhianat.
Sakit dan kecewaku dalam batin tetap aku tahan, aku berusaha tetap mematuhi kemauan ortu, walalupu aku memang tidak setuju dengan larangan kolot kuno dan tidak beralasan itu. Aku pikir tidak tepat ketika ortu aku bilang: 'ma2 dulu seusia kamu tidak pernah pegang hape, tidak bermasalah'.
Jaman ma2 dulu memang belum ada hape, pantas saja tidak pegang hape, tapi sekarang sudah jaman kemajuan teknologi, tukang pemulung sampah saja banyak yang pegang hape.
Pernah aku ngebantah ma ma2, begini:
'jaman oma dulu kalau berangkat kerja tidak pakai mobil juga tidak masalah, kenapa ma2 brangkat kerja bawa mobil?'
'Jaman oma dulu kalau bekerja cukup dirumah saja jadi ibu rumah tangga yang memasak di dapur dan jagain anak-anak, kenapa ma2 kerja di luar? urusan di dapur diserahin orang lain'
Aku kira ma2 akan marah karena bantahanku, ternyata ma2 tidak marah, hanya berucap pendek begini: 'kamu pikir baik-baik jawabannya'
Aku tidak menuntut banyak ma ortu, aku hanya ingin hidup wajar seperti temen-temenku, ingin bergaul tanpa batasan yang tidak masuk akal. 'ma2 punya alasan ngelarang kamu pegang hape sendiri' itu kata ma2 beberapa waktu lalu. Tapi kemudian ma2 diam saja ketika aku tanya apa yang menjadi alasan ma2.
akhirnya aku sebagai anak memang harus selalu mengalah bila menghadapi ortu. Andai ma2 jadi raja, tentu ma2 menjadi raja yang otokrasi seperti kata guru sejarahku tentang raja-raja jaman dulu.
Kecewa, sedih marah dan malu yang selama ini bergumul dalam diriku hanya bisa aku tumpahkan dalam tulisan ini. Curhatku hanya lewat tulisan ini.
Ya Allah, padaMu hamba berserah diri
Itu salah satu tanda ma"mu bgtu sayang ma kmu....
ReplyDeleteTentunya beliau pasti punya alasan kuat, ga ngijinin kmu punya hp sndri...toh buktinya ga sdkit kan remaja "rusak" gara mesin canggih ni?...
q hx pengen setara ma tmn2. bs hub tmn dg mudah, tu aja. Ga tau dech... mama sprti org kolot sj. dl wkt d SD katax msh kcil, blm wktx. sdh SMP ttp ja blm pantes. Smpe hmpir lu2s nie ttp ja. dijininx msh nunggu seminggu sbelum kiamat kali
ReplyDelete