Oleh MAHFUD MD
Cerita tentang kancil pilek bukan cerita baru. Tapi, saya senang ketika cerita itu disampaikan oleh Prof Amien Rais saat saya, pada pertengahan 1980-an, menjadi mahasiswanya di Pascasarjana UGM. Ketika itu (1986) saya mengambil mata kuliah Politik Timur Tengah yang diampu Pak Amien. Dengan caranya memberikan kuliah dan gaya bercerita yang sangat memikat, cerita kancil pilek dari Pak Amien itu menjadi sangat menarik dan lebih mudah untuk dikaitkan dengan realitas keseharian politik dan penegakan hukum kita.
Syahdan, di sebuah hutan rimba, hiduplah harimau si raja rimba yang memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari, sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risi dengan desas-desus itu, si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk mendapat kepastian. Mula-mula, dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang besar. Menurutmu, benarkah badan saya ini bau? tanya harimau sambil menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. Ampun Tuan Raja yang Mulia, memang benar, badan Tuan bau dan memualkan, jawab herder tersebut dengan jujur. Mendengar itu, sang harimau jadi marah. Kurang ajar, berani benar kamu menghina raja di rimba ini, kata sang harimau sambil menerkam dan merobek-robek si herder sampai lumat.
Kemudian, dipanggillah pimpinan rakyat kijang. Apakah menurutmu badanku ini bau? tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut dirobek-robek seperti herder, maka setelah membau badan harimau, pimpinan kijang itu berkata. Ampun Yang Mulia, ternyata badan yang mulia harum menyegarkan, katanya. Tapi, tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang sambil mengaum keras. Kurang ajar, munafik, berani benar kamu membohongi raja, teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.
Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder, bisa dirobek-robek karena dianggap berani kurang ajar. Kalau berbohong agar raja senang, bisa dicabik-cabik seperti kijang. Ketika membau tubuh harimau, si kancil bersin (wahing) karena tubuh raja rimba itu baunya memang menyengat. Bagaimana menurutmu, kancil? Apa badan saya memang bau? tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar, kancil itu menjawab. Maaf Raja Rimba yang Mulia, saya sedang pilek, hidung lagi mampet, jadi tak tahu apakah badan Tuan bau atau tidak, jawab sang kancil. Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau? kejar sang harimau. Ya, saya bersin justru karena pilek itu, jawab kancil lebih berani. Sang harimau akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.
***
Dari cerita itulah, dalam dunia politik kita sering mendengar istilah politik kancil pilek, seperti halnya kita sering juga mendengar istilah politik Paku Abu Nawas. Politik kancil pilek diartikan sebagai politik diam meski melihat kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Di negara kita saat ini banyak politisi kancil pilek, terutama dalam penegakan hukum. Bagi kita, politik kancil pilek bisa saja diterima kalau seorang politisi memang dalam posisi yang lemah dan terancam bahaya jika tidak diam atau berpura-pura pilek. Celakanya, kancil pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan takut kepada penguasa yang busuk (harimau bau), melainkan juga banyak di antaranya yang menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu (ikut bau). Oleh sebab itu, mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka sendiri ternyata juga melakukan korupsi.
Jadi, mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada penguasa yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang semula galak tiba-tiba menjadi pendiam dan menyerukan kearifan untuk tidak mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya galaknya setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu berpura-pura pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi. Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal, menurut teori dan fakta, hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kuranganya kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung hukum.
Dalam pada itu, lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena takut pada terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang jadi harimau jahat sekarang ini adalah ologarki politik. Contoh paling aktual tentang ini adalah dakwaan kasus korupsi dana DKP yang melibatkan mantan menteri Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, kepolisian, dan KPK sekarang ini sering membuang badan untuk menangani kasus dugaan korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh politik kuat. Alasan yang dikemukakan bermacam-macam, misalnya, belum ada bukti awal (padahal bukti awal sudah cetho welo-welo). Atau karena tidak ada laporan atau pengaduan. Padahal, kasusnya bukan delik aduan karena kasusnya menjadi domain KPU (padahal kasus itu bersifat concursus atau gabungan tindak pidana yang bisa diurus KPU. Sebab, pelanggaran dana kampanye sekaligus bisa ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK sebagai tindak pidana korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. KPU sendiri ikut-ikutan jadi kancil pilek yang setelah bersin satu kali lalu diam. Janji untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat dalam satu atau dua hari ternyata tidak ditepati. Padahal, sudah lewat sepuluh atau dua puluh hari.
Dimuat di Jawa Pos, 13 Juni 2007
No comments:
Post a Comment