Datanglah ke berbagai daerah dan perhatikan secara saksama nasib guru-guru non-Pengawai Negeri Sipil (PNS). Serta-merta Anda akan mendapatkan fakta dan kenyataan memilukan. Betapa sesungguhnya, guru-guru non-PNS dilecehkan keberadannya. Secara struktural fungsional, mereka diposisikan ke dalam derajat lebih rendah dibandingkan guru PNS. Tak mengherankan jika di berbagai daerah sangat terasa munculnya diferensiasi atau perbedaan antara guru PNS dan guru non-PNS. Mereka yang masuk ke dalam kategori guru PNS diposisikan lebih bermartabat dibandingkan guru non-PNS. Maka, dalam kancah pendidikan nasional mencuat diskriminasi terhadap keberadaan guru non-NPS. Tak mengherankan jika dari tahun ke tahun, keberadaan guru-guru non-PNS turut serta mewarnai hamparan persoalan pendidikan di negeri ini.
Secara kategoris, apa yang disebut “guru non-PNS” mencakup guru swasta, guru tidak tetap, guru honorer, dan guru wiyata bhakti. Pada satu sisi, kehadiran mereka dibutuhkan sebagai jawaban terhadap ketidakmampuan pemerintah menyediakan tenaga guru sesuai kebutuhan. Itulah mengapa, guru-guru non-PNS terlibat aktif dalam proses-proses pendidikan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Tapi pada lain sisi, guru-guru non-PNS tak mendapatkan perlindungan memadai dari pihak pemerintah. Kehadiran mereka yang sangat bermakna dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kependidikan justru kontras dengan perlakuan yang mereka terima. Nuansa diskriminatif ini terus berlangsung hingga kini.
Guru-guru non-PNS justru dilecehkan oleh kalangan pemerintahan yang bertanggungjawab langsung terhadap tata kelola pendidikan.
Sertifikasi merupakan contoh kongkret dari terjadinya diskriminasi. Sebagaimana dapat dicatat, terjadi ketimpangan dalam hal kuota sertifikasi, yaitu 75% untuk guru PNS dan 25% untuk guru non-PNS. Tetapi dalam realisasinya, hanya 10% guru-guru non-PNS masuk ke dalam cakupan sertifikasi. Gambaran lain dari adanya diskriminasi tercermin pada subsidi tunjangan fungsional guru swasta sebesar Rp 200.000 per bulan yang ternyata tak diterima oleh semua guru swasta.
Dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Balikpapan (24 Januari 2010), kembali mengemuka tuntutan agar pemerintah segera merealisasikan perlindungan demi memperbaiki kesejahteraan dan karier guru-guru non-PNS. ”Kami meminta pemerintah merealisasikan adanya peraturan pemerintah guru non-PNS paling lama tahun ini. Pasalnya, kesenjangan guru PNS dan non-PNS, terutama para guru wiyata bhakti dan guru tidak tetap semakin lebar,” kata Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI.
Tak pelak lagi, tuntutan ini dilatarbelakangi diskriminasi yang melecehkan keberadaan guru-guru non-PNS. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menyatakan komitmennya terhadap guru-guru PNS untuk memberikan gaji minimal Rp 2 juta per bulan. Pemerintah juga mencanangkan agar guru-guru PNS meningkat kualitasnya serta berkesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Sementara terhadap guru-guru non-PNS, tak ada komitmen semacam ini. Seorang guru tidak tetap yang bekerja di lembaga pendidikan swasta, misalnya, hampir mustahil mendapatkan perlindungan dan pengayoman pemerintah sebagaimana diberikan kepada guru-guru PNS. Pada pelataran lain, nestapa guru-guru non-PNS terkait erat dengan dua hal, yaitu pendapatan yang jauh di bawah upah minimum regional dan ketidakpastian untuk diangkat menjadi guru tetap berstatus PNS.
Boleh dikata, apa yang mengemuka dalam rapat Koordinasi Pimpinan PGRI di Balikpapan itu hanyalah pengulangan terhadap masalah lama. Pemerintah telah mengondisikan sedemikian rupa agar guru-guru berstatus PNS mendapatkan prioritas dalam hal kesejahteraan dan profesionalisme. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa guru-guru non-PNS yang jumlahnya kini sekitar 1,2 juta orang telah mencuat sebagai isu politik di tingkat nasional. Pada titik ini pula kita melihat kegagalan sistem pendidikan nasional.
Oleh Anwari WMK
No comments:
Post a Comment