Pagi pagi Mang Aldo tukang sol sepatu menjalankan keahliannya untuk mencari nafkah dengan menggayuh sepeda tua sambil bersuara lantang, sol ...sepatu... sol.....sepatu...
Wahyu Widodo alias Mang Aldo, begitulah dia dipanggil. Seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol sepatu. Pagi buta Mang Aldo sudah menggayuh sepeda tuanya meninggalkan anak dan istri yang berharap, nanti sore hari, Mang Aldo membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk.
Mang Aldo terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perutnya mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukang sol sepatu lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak, nih,” pikir Mang Aldo. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini, Bang? Sepertinya laris, nih?” kata Mang Aldo memulai percakapan. “Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu,” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.
“Saya baru satu, Bang, itu pun cuma benerin jahitan,” kata Mang Aldo memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.” komentar Bang Soleh
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga,” kata Mang Aldo sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah,” kata Bang Soleh sambil tetap tersenyum. “Emang begitu, Bang?” tanya Mang Aldo, yang sebenarnya sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke masjid dulu, sebentar lagi azan Dzuhur,” kata Bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang Aldo sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, Mang Aldo mengikuti Bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat.
Bang Soleh begitu hafal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.
Setelah shalat, Bang Soleh mengajak Mang Aldo ke warung nasi untuk makan siang.
Tentu saja Mang Aldo bingung, sebab dia tidak punya uang.
Bang Soleh mengerti.
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”
Akhirnya Mang Aldo ikut makan di warung tegal terdekat.
Setelah makan, Mang Aldo berkata, “Saya tidak enak, nih. Nanti uang untuk dapur Abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barokah,” kata Bang Soleh tetap tersenyum. “Abang yakin?”
“Insya Allah,” jawab Bang Soleh meyakinkan. “Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain,” kata Mang Aldo penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong kita,” kata Bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama.
Bang Soleh mendahului menyapa. “Apa kabar, Mang Aldo?”
“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa kok penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat,” kata Mang Aldo setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata, “Masih ada hal yang perlu Mang Aldo lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya Mang Aldo penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar,” kata Bang Soleh sambil kemudian mengajak ke masjid dan mentraktir makan siang lagi. Batin Mang Aldo makin galau...
Hari berikutnya mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda.
Mang Aldo yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi, “Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran Abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan tidak cocok. Mungkin keyakinan Mang Aldo belum kuat atas pertolongan Allah.
Coba renungkan, sejauh mana Mang Aldo yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Aldo cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh Bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin, Bang?” kata Mang Aldo sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, Bang Soleh sudah menebak, ke mana arah pembicaraan Mang Aldo.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, di sini?” tanya Bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan tiga hari berturut-turut.
Mang Aldo dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh.
Mang Aldo terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut.
Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”
Mang Aldo manggut-manggut. Sepertinya mulai paham walau masih terselip sedikit keraguan. Kemudian Mang Aldo tersenyum.
“Oke, deh, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih, Bang,” kata Mang Aldo, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi Dzuhur, kita ke masjid, yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”
Mereka pun kembali mendorong sepeda gayuh tua dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimis bahwa hidup akan lebih baik.
Illustrasi Tukang Sol Sepatu |
Wahyu Widodo alias Mang Aldo, begitulah dia dipanggil. Seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol sepatu. Pagi buta Mang Aldo sudah menggayuh sepeda tuanya meninggalkan anak dan istri yang berharap, nanti sore hari, Mang Aldo membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk.
Mang Aldo terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perutnya mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukang sol sepatu lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak, nih,” pikir Mang Aldo. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini, Bang? Sepertinya laris, nih?” kata Mang Aldo memulai percakapan. “Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu,” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.
“Saya baru satu, Bang, itu pun cuma benerin jahitan,” kata Mang Aldo memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.” komentar Bang Soleh
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga,” kata Mang Aldo sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah,” kata Bang Soleh sambil tetap tersenyum. “Emang begitu, Bang?” tanya Mang Aldo, yang sebenarnya sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke masjid dulu, sebentar lagi azan Dzuhur,” kata Bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang Aldo sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, Mang Aldo mengikuti Bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat.
Bang Soleh begitu hafal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.
Setelah shalat, Bang Soleh mengajak Mang Aldo ke warung nasi untuk makan siang.
Tentu saja Mang Aldo bingung, sebab dia tidak punya uang.
Bang Soleh mengerti.
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”
Akhirnya Mang Aldo ikut makan di warung tegal terdekat.
Setelah makan, Mang Aldo berkata, “Saya tidak enak, nih. Nanti uang untuk dapur Abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barokah,” kata Bang Soleh tetap tersenyum. “Abang yakin?”
“Insya Allah,” jawab Bang Soleh meyakinkan. “Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain,” kata Mang Aldo penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong kita,” kata Bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama.
Bang Soleh mendahului menyapa. “Apa kabar, Mang Aldo?”
“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa kok penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat,” kata Mang Aldo setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata, “Masih ada hal yang perlu Mang Aldo lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya Mang Aldo penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar,” kata Bang Soleh sambil kemudian mengajak ke masjid dan mentraktir makan siang lagi. Batin Mang Aldo makin galau...
Hari berikutnya mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda.
Mang Aldo yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi, “Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran Abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan tidak cocok. Mungkin keyakinan Mang Aldo belum kuat atas pertolongan Allah.
Coba renungkan, sejauh mana Mang Aldo yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Aldo cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh Bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin, Bang?” kata Mang Aldo sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, Bang Soleh sudah menebak, ke mana arah pembicaraan Mang Aldo.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, di sini?” tanya Bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan tiga hari berturut-turut.
Mang Aldo dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh.
Mang Aldo terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut.
Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”
Mang Aldo manggut-manggut. Sepertinya mulai paham walau masih terselip sedikit keraguan. Kemudian Mang Aldo tersenyum.
“Oke, deh, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih, Bang,” kata Mang Aldo, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi Dzuhur, kita ke masjid, yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”
Mereka pun kembali mendorong sepeda gayuh tua dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimis bahwa hidup akan lebih baik.
Kata orang bijak, "Barang siapa yang bertaqwa pada Allah dan hari akhir niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari permasalahannya"
menyukai blog anda
ReplyDeleteterimakasih menyukai blog ini.
ReplyDeleteSementara blog ini agak fakum berhubung Dieny lg sibuk dengan aktivitas kepesantrenan.