01 November 2010
Suatu Malam di Tanah Para Dukun
HUJAN lebat mengguyur Dusun Muntei Baru-Baru, Pulau�Pagai Utara, Mentawai, Sumatera Barat, Senin malam pekan lalu. Di luar rumah, ombak Samudra Hindia berdebur seperti biasa. Candra bercengkerama dengan bayinya, Girson Irfraek, di tempat tidur. Sang suami, Kresianus, terlelap di samping mereka. Jarum jam menunjuk pukul 21.42. Rumah kayu mereka tiba-tiba terayun. Candra tersentak. Suaminya terbangun. Menyadari goyangan gempa, mereka bergegas lari ke luar rumah. Sang buah hati mereka gendong. Di luar, langit pekat seperti arang. Bumi terus bergoyang, dan baru berhenti setelah empat menit.Namun, bagi Candra, gempa malam itu tak terlalu mengkhawatirkan. Ia pernah merasakan gempa 8,4 skala Richter yang mengguncang desanya tiga tahun silam. Sejak itu, gempa susulan kerap datang. Lindu pun menjadi kawan sehari-hari masyarakat daerah yang acap dijuluki Bumi Sikerai atau tanah para dukun ini.
Itu sebabnya, pasangan muda tersebut balik lagi ke rumah, yang jaraknya 50 meter dari tepi pantai, setelah gempa berakhir. Mereka berniat tidur. Tapi, 10 menit masuk rumah, Candra mendengar suara mirip ledakan dari laut. "Duarr...," tutur Candra kepada Supri Lindra, kontributor Tempo di Mentawai, Kamis pekan lalu.
Menurut Candra, suaminya membuka pintu dan melongok ke arah laut. Tapi ia tak melihat apa-apa. Malam terlalu gelap dan hujan masih mengguyur. Tapi mereka mulai panik. Kresianus menggendong Girson dan mengajak istrinya kembali ke luar rumah. Mereka berlari menuju jalur evakuasi yang telah dibangun sepanjang dua kilometer ke arah bukit. Dari laut gemuruh ombak besar terasa semakin dekat.
Orang-orang ternyata sudah memadati satu-satunya jalan evakuasi itu. Tapi gelombang tinggi dari kanan Muntei mengejar lebih cepat. Lalu gelombang kedua lebih besar menyapu dari kiri. Dua gelombang itu bertemu, seperti bertepuk menghancurkan kampung. "Gelombang pertama mengejar kami yang terus berlari. Airnya seleher," kata Candra.
Kresianus berteriak meminta istrinya jangan berhenti berlari. Candra melihat banyak warga tergulung air laut. Teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. "Saya dan suami berpegangan agar tak terbawa arus," ia mengenang.
Tak lama setelah itu, gelombang kembali datang, menghantam pasangan ini. Candra terpisah dengan suami dan anaknya. Ia merasakan sebatang pohon kelapa yang terbawa air menabraknya. Candra jatuh telentang dan terkubur pasir. "Saya berusaha mengangkat kepala dan membersihkan wajah agar bisa bernapas," katanya.
Candra masih mengingat, malam itu hujan masih terus mengguyur. Namun gelombang air laut susulan tidak datang lagi. Satu jam kemudian dia ditemukan Rulisman, tetangganya. Bersama warga lainnya, Rulisman mengangkat pohon kelapa yang menindih tubuh Candra. "Pinggang ini rasanya mau patah," kata Candra. Dia digotong ke atas bukit. Di sana ada dua pondok kayu yang dibangun warga Muntei buat mengungsi pada saat gempa 2007.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi warga Muntei. Perempuan dan lelaki sibuk mencari sanak keluarganya. Tak mudah melakukannya pada malam yang gelap-gulita itu. Satu-satunya tanda hanyalah suara rintihan. Orang-orang akan datang ke arah suara lalu memberikan pertolongan.
Candra pun berusaha mencari sang suami dan bayinya. Dia tertegun. Air matanya mengucur deras ketika mendapati sang suami tak lagi bernyawa. Tubuhnya tertimpa puing bangunan yang roboh. "Bayi saya tidak ada di sana. Hilang," katanya.
Kepulauan Mentawai merupakan kelompok pulau yang terdiri atas empat pulau utama, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Kawasan ini dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Mentawai. Wilayah seluas 6.011,35 kilometer persegi ini memiliki 10 kecamatan dan 42 desa, dengan penduduk sekitar 68.097 orang.
Tsunami malam itu menyapu Pulau Sipora, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Pagai Utara. Dusun Muntei Baru-Baru merupakan lokasi terdekat dari Kecamatan Sikakap, pusat keramaian di Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dusun itu bisa ditempuh sekitar satu jam pelayaran kapal bermesin dari Sikakap.
Wilayah-wilayah itu berhadapan langsung dengan Lautan Hindia. Ombaknya selalu besar. Sejumlah wilayah perairan di kawasan ini pun dipenuhi karang. Padahal transportasi paling lazim di wilayah ini adalah kapal bermesin. Di kepulauan ini ada bandara perintis Rokot di Pulau Sipora. Panjang landasan pacunya 800 meter, tapi ruas yang bisa digunakan hanya sekitar 600 meter.
Seperti lazimnya daerah terpencil, sarana komunikasi masih terbatas. Di Pulau Sipora, hanya wilayah Tua Pejat yang sudah dilayani jaringan telepon seluler dan listrik. Itu sebabnya petaka ini terdengar sayup di luar daerah, termasuk Jakarta. Setelah merilis terjadinya gempa di Mentawai, Badan Meteorologi mengumumkan potensi tsunami sudah berakhir pada pukul 22.46. Sejumlah pejabat, dikutip media massa, malam itu mengatakan, di Mentawai, "Tidak ada kerusakan dan korban."
Baru pada hari-hari berikutnya, bencana tersiar luas. Gelombang tsunami ternyata dahsyat mengamuk. Hingga Sabtu malam pekan lalu, tercatat 415 orang meninggal, 128 orang hilang, dan 270 orang terluka berat. Dua belas ribu orang lebih mengungsi.
Jersanius Sanaloisa, Kepala Dusun Muntei, termasuk di daftar pengungsi. Malam itu ia berdiri di luar rumah. Di dalam, istri dan anak-anaknya asyik menonton sinetron televisi. "Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah pantai," katanya.
Ia mengatakan, warga dusun sudah paham, jika gempa mengguncang, mereka harus lari ke tempat yang paling tinggi. Menurut dia, gempa malam itu kecil walau mengayun lama. Setelah guncangan berhenti, ia masuk rumah. Ketika gelombang tsunami datang menggulung, keluarga ini tak sempat menyelamatkan diri. "Saya selamat dengan perjuangan yang sangat keras," katanya. "Tapi istri saya meninggal."
Berbagai upaya dilakukan warga Muntei untuk lolos dari maut. Ada yang menghindari gelombang laut dengan memanjat pohon kelapa. Ada juga yang pasrah dan bernasib baik karena didorong air ke daratan. Mardin, 52 tahun, misalnya. Ketika tsunami datang, ia sedang tertidur pulas. Ia baru terbangun ketika air bah menghancurkan rumah. Dia hanya bisa memegang kayu erat-erat. Tubuhnya diempaskan jauh ke darat. "Bisa dibilang saya diantar gelombang tsunami sampai ke pengungsian," katanya.
Toh, sistem peringatan dini tak disiapkan dengan baik. "Alat pelampung pendeteksi dirusak orang," kata Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Yudi Anantasena. Alat itu sebelumnya dipasang di perairan dekat Pulau Siberut.
Di Mentawai, yang acap kali digoyang gempa, ternyata juga tidak dipasang sirene peringatan tsunami. Menurut Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, sirene peringatan hanya ditempatkan di Padang.
Kepala Pusat Pengendali Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat Ade Edward menganggap pendeteksi dini tak berguna. Kalaupun alat pendeteksi dipasang, ia mengatakan, warga tetap tidak akan mampu menghindari gelombang tsunami.
Ia mengklaim tsunami di Mentawai paling cepat di dunia. Gelombang datang 5-15 menit setelah gempa besar. Kedatangannya lebih cepat daripada tsunami di Hawaii atau Jepang, yang menggulung dua-tiga hari setelah gempa. "Belum ada teknologi early warning system untuk menginformasikan tsunami secepat yang terjadi di Mentawai," katanya.
Walau begitu, menurut peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung, Alamta Singarimbun, detektor tsunami tetap perlu dipasang di sekitar Kepulauan Mentawai. Detektor itu diperlukan masyarakat untuk bereaksi menghadapi terjangan gelombang tsunami. "Bukan masalah dekat atau tidak," katanya.
No comments:
Post a Comment